PEKANBARU (RA) - Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Riau, Kombes Surawan memberi signal bahwa kasus CF alias Susi, majikan yang secara kejam menganiaya pembantunya Salomi Tilalada berkemungkinan berakhir dengan jalan damai, sebab keluarga korban minta kepolisian agar tidak melanjutkan kasus ini.
Keluarga Salomi merasa kesulitan bila harus bolak-balik dari Nusa Tenggara Timur ke Riau hanya untuk menghadiri panggilan penyidik, belum lagi jika nanti sudah masuk ke persidangan. Ini yang jadi alasan kuat mereka agar kasus tersebut dihentikan saja, meski sekarang status Susi adalah tersangka.
Upaya damai tersebut berkemungkinan ditebus dengan membayar ganti rugi gaji yang sebelumnya tak pernah diterima Salomi, selama ia bekerja dengan tersangka Susi. Meski faktanya, rasa trauma dan luka akibat penganiayaan yang dialami korban tak akan hilang dengan uang tersebut.
"Permintaan dari keluarga mereka (supaya dihentikan kasusnya, red) masih kita kaji. Kita lakukan gelar perkara dulu, mempertimbangkan berbagai kemungkinan, karena ini pidana murni. Kedua pihak masih koordinasi (berdamai, red)," jawab Kombes Surawan kepada GoRiau.com waktu itu.
Terkait ini, kriminolog Riau, Kasmanto Rinaldi SH, M. Si pun angkat bicara. "Dalam penanganan tindak pidana, tidak ada istilah 'perdamaian' antara si pelaku dan korban," jawab Kasmanto yang Wakil Dekan III Fisipol Universitas Islam Riau (UIR), akhir pekan lalu.
Dalam criminal justice system, sambungnya, hubungan pelaku itu adalah dengan negara, bukan kepada individu korban. "Begitu pula sebaliknya, korban tidak punya hubungan langsung atas apa yang terjadi pada diri si pelaku," urainya.
Artinya, dalam aspek victimology konvensional, Salomi 'tidak akan dapat apa-apa', meski seandainya pun pelaku di hukum mati sekalipun atas perbuatannya. Namun di sini, kehadiran negara yang diwakili oleh perangkat sistem peradilan pidana adalah dalam konteks mewakili hak-hak si korban.
"Dalam pandangan victimologi modern seperti kasus ini, acap kali korban mengalami yang namanya Revictimisasi yang diakibatkan oleh victimisasi struktural. Dikarenakan status sosialnya, si korban seringkali mengalami 'penderitaan baru' pada saat proses penanganan perkara pidana yang menimpanya," bebernya.
"Tidak jarang korban yang seharusnya 'diuntungkan', malah mengalami penderitaan lagi. Dinamika ini sebenarnya bukan hal yang baru dalam sistem hukum pidana kita, namun pada pelaksanaannya kita belum mampu melakukan inovasi hukum," nilai Kasmanto.
Sebab itu, dia berharap agar keberadaan hukum tidak hanya semata-mata menargetkan penghuman atau pembebasan terhadap pelaku, namun yang terpenting adalah membuat korban tidak merasa menjadi korban 'lagi'.(gr)